5/25/2011

Bid'ah (البدعة)

 Pengertian Bid'ah

Setelah membahas masalah As Sunnah tersebut maka kini sampailah pada pembahasan mengenai bid’ah. Hal yang ditekankan pada pembahasan disini mengenai makna bid’ah, pengertian bid’ah yang dinilai Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai kesesatan dalam agama. Para ahli telah banyak mendefisinikan arti atau makna bid’ah meskipun terjadi perbedaan lafalnya yang kemudian menyebabkan perbedaan cakupan pada bagian-bagian pengertian bid’ah tersebut, tetapi tujuan akhir dari pengertian bid’ah tersebut adalah sama. Jika di tinjau dari sudut pandang bahasa, bid’ah adalah diambil dari kata bida’ yaitu al ikhtira ‘/mengadakan sesuatu tanpa adanya contoh sebelumnya. Seperti yang termaktub dalam Kitab Shahih Muslim bi Syarah Imam Nawawi dijelaskan sebagai berikut:
والمراد غالب البدع . قال أهل اللغة : هي كل شيء عمل على غير مثال سابق
“Dan yang dimaksud bid’ah, berkata ahli bahasa, dia ialah segala sesuatu amalan tanpa contoh yang terlebih dahulu”
Sedangkan jika ditujukan dalam hal ibadah pengertian-pengertian bid’ah tersebut diantaranya:
البدعة: طريقة مستحدثة في الدين، يراد بها التعبد، تخالف الكتاب، والسنة وإجماع سلف الأمة
“Bid’ah adalah suatu jalan yang diada-adakan dalam agama yang dimaksudkan untuk ta’abudi, bertentangan dengan al Kitab (al qur`an), As Sunnah dan ijma’ umat terdahulu
البدعة في مقابل السنة، وهي : (ما خالفت الكتاب والسنة أو إجماع سلف الأمة من الاعتقادات والعبادات) ، أو هي بمعنى أعم : (ما لم يشرعه الله من الدين.. فكل من دان بشيء لم يشرعه الله فذاك بدعة
Bid’ah adalah kebalikannya dari sunnah, dan dia itu apa-apa yang bertentangan dengan al qur`an, as sunnah, dan ijma’ umat terdahulu, baik keyakinnanya atau peribadahannya, atau dia itu bermakna lebih umum yaitu apa-apa yang tidak di syari’atkan Allah dalam agama…maka segala dari sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah maka yang demikian adalah bid’ah.
الْبِدْعَةُ فِي الشَّرِيعَةِ إحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bid’ah dalam syari’ah adalah apa yang diada-adakan yang tidak ada perintah Rasulullah shalallahu ta’ala ‘alaihi sallam.
وَعَنْ الْهَرَوِيِّ الْبِدْعَةُ الرَّأْيُ الَّذِي لَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْ الْكِتَابِ وَلَا مِنْ السُّنَّةِ
Dan dari al Harawi bahwa bid’ah ialah pendapat pikiran yang tidak ada padanya dari kitab (al Qur`an) dan as Sunnah.
Ibnu Hajar al As Qalani dalam Fathul Bari menjelaskan
والمراد بقوله ” كل بدعة ضلالة ” ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
“Dan yang dimaksud dengan sabdanya “Setiap bid’ah adalah sesat” yakni apa yang diadakan dan tanpa dalil padanya dari syari’at baik dengan jalan khusus maupun umum”
Menurut Ibnu Taimiyah: ‘ Bid’ah dalam agama ialah sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan rasul-Nya yaitu tidak diperintahkan dengan perintah wajib atau perintah sunnah. Adapun yang diperintahkan dengan perintah wajib dan sunnah serta diketahui perintah-perintah tersebut dengan dalil-dalil syar’i, maka hal itu termasuk yang disyari’atkan oleh Allah, meskipun terjadi perselisihan diantara ulama di beberapa masalah dan sama saja, baik hal itu sudah diamalkan pada masa Rasulullah atau tidak.
Menurut As-Syahtibi: ‘ Bid’ah adalah suatu cara di dalam agama yang diada-adakan (baru) menyerupai agama dan dimaksudkan dalam melakukannya untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah ta’ala.
Menurut Ibnu Rajab: ‘ Yang dimaksudkan dengan bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada dasarnya di dalam syari’at. Adapun suatu yang ada dasarnya dalam syara’, maka bukan bid’ah meskipun dikatakan bid’ah menurut bahasa.’
Menurut As-Suyuti: ‘ Bid’ah ialah suatu ungkapan tentang perbuatan yang bertentangan dengan syari’at karena menyelisihinya atau perbuatan yang menjadikan adanya penambahan dan pengurangan syari’at. ‘
Ulama bersefaham bahwa dari beberapa pengertian bid’ah tersebut diatas yang paling mengena pada maksud bid’ah yang dapat dikatakan sesat adalah yang diartikan oleh Iman As- Syathibi. Dari definisi-definisi tersebut dapat diambil pokok-pokok pengertian bid’ah menurut syara sebagai berikut:
a. Bid’ah ialah sesuatu yang diadakan di dalam agama. Maka tidak termasuk bid’ah sesuatu yang diadakan di luar agama untuk kemaslahatan dunia seperti pengadaan hasil-hasil industri dan alat-alat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi.
b. Bid’ah tidak memiliki dasar yang menunjukkannya dalam syari’at. Adapun hal-hal yang memiliki dasar-dasar syari’at, maka bukan bid’ah meskipun tidak ada dalilnya dalam syari’at secara khusus. Contohnya pada zaman kita ini orang yang membuat alat alat seperti kapal terbang, roket, tank, dll. dari alat-alat perang modern dengan tujuan persiapan memerangi orang-orang kafir dan membela kaum muslimin. Maka perbuatannya bukan bid’ah meskipun syari’at tidak menjelaskannnya secara rinci, dan Rasulullah tidak menggunakan alat-alat tersebut untuk memerangi orang-orang kafir. Tetapi membuatnya termasuk dalam firman Allah secara umum, ” Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja.” (Al-Anfal : 60). Begitu pula perbuatan-perbuatan lain yang semisal. Maka setiap sesuatu yang memiliki dasar dalam syara’, ia termasuk syari’at dan bukan bid’ah.
c. Bid’ah di dalam agama kadang-kadang dikurangi dan kadang-kadang ditambah, sebagaimana dijelaskan oleh As-Suyuti meskipun perlu pembatasan bahwa sebab menguranginya adalah agar lebih mantap dalam beragama. Adapun jika sebab menguranginya bukan agar lebih mantap dalam beragama, maka bukan bid’ah. Seperti meninggalkan perintah yang wajib tanpa udzur. Itu disebut maksiat bukan bid’ah begitu pula meninggalkan perkara sunnat tidak dianggap bid’ah.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka bahwa bid’ah itu hanya ada dalam hal agama/ibadah, ini sesuai dengan sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya: “Siapa yang membuat hal baru dalam ajaran agama kami apa yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.”
Dan dapat kita lihat keterkaitan antara hadist diatas dengan hadist dibawah yaitu mengenai niat dalam beribadah:
Artinya: “Sesungguhnya segala amalan ibadah itu tergantung dari niat.” Jadi para ulama bersepakat bahwa ciri amal ibadah agar diterima oleh Allah adalah:
a. Meniatkan amal perbuatannya semata demi Allah SWT dan ikhlas kepada-Nya
b. Amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.
Oleh karena itu, saat Imam al-Fudhail bin Iyadh yang beliau adalah gurunya Imam Asy Syafii, daa beliau juga adalah seorang faqih yang zaahid, ditanya tentang firman SWT, “….supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya….” (Al-Mulk:2), Penanya: “Amal apakah yang paling baik ??” Beliau menjawab: “yaitu amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar” Penanya: “Wahai Abu Ali (al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar itu ?” Beliau menjawab: “Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar maka amal itu tidak diterima oleh Allah SWT. Kemudian meskipun amal ibadah itu benar namun dikerjakan dengan tidak ikhlas juga tidak diterima oleh Allah SWT. Amal ibadah baru diterima bila dikerjakan dengan ikhlas dan dengan benar pula. Yang dimaksud dengan ikhlas adalah dikerjakan semata untuk Allah SWT dan yang dimaksud dengan benar adalah dikerjakan sesuai dengan tuntunan Sunnah.
Dengan demikian nyatalah bahwa segala sesuatu itu dianggap benar apabila ibadah dilakukan ikhlas dan sesuai dengan syari’at. Jika ada ulama yang berani mengatakan bahwa jika kita beribadah asalkan dengan niat yang ikhlas akan tetapi tidak dilakukan sesuai dengan syariat atau tidak ada perintahnya mengenai peribadahan tersebut akan diterima oleh Allah maka kadar keilmuan seorang ulama itu harus di pertanyakan. Bahkan ada pula sebagian dari para ustadz-ustadz di daerah yang mereka berani sekali mengatakain asalkan niat Lillahi Ta’aala maka segala sesuatunya itu bisa diterima atau ditolak itu menjadi urusan Allah. Karena manusia hanya berusaha Allahlah yang menentukan. Mereka (para ulama-ulama tersebut) lupa atau tidak mengetahui bahwa selain ikhlas harus juga sesuai/diperintahkan oleh syari’at.
Setelah hal tersebut diatas kemudian timbul lagi permasalahan baru yang disebut sebagai Bid’ah hasanah. Sebenarnya ungkapan bid’ah hasanah ini muncul ketika Umar r.a mendapati suatu kaum muslimin pada zamannya melakukan shalat tarawih pada malam bulan Ramadhan dengan sendiri-sendiri dan bahkan ada yang berjama’ah hanya dengan beberapa orang saja dan ada yang berjama’ah dengan jumlah besar. Keadaan ini terus berlangsung hingga Amirul Mu’minin Umar r.a mengumpulkan mereka kepada satu Imam, lalu beliau radhiallahu ‘anhu berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat taraweh secara berjama’ah)”.
Yang kemudian bisa dijadikan pertanyaan adalah apakah benar qiyamul lail dengan berjama’ah di bulan Ramadhan itu temasuk bid’ah yang dikatagorikan kepada bid’ah yang menyesatkan? Hal ini dijawab oleh Syaikh Muhammd bin Shalih al Utsaimini bahwa hal tersebut bukan bid’ah akan tetapi termasuk sunnah Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim dari Aisyah r.a, bahwa nabi pernah melakukan qiyamul lail di bulan Ramadhan dengan para sahabat selama tiga malam berturut-turut, kemudian beliau sholallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya pada malam berikutnya dan bersabda: “Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu lalu kamu tidak akan sanggup melaksakannya.”
Disini jelas sekali bahwa Umar r.a tidaklah mengada-ada atau membuat ajaran baru berupa qiyamul lail dibulan Ramadhan secara berjama’ah dengan satu imam, akan tetapi beliau r.a mencoba ingin menyatukan orang-orang yang shalatnya bersendiri-sendiri dan sebagian yang lain berjama’ah. Tidak mungkin apa yang Umar r.a ucapkan “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat taraweh secara berjama’ah)” adalah bid’ah yang sebagimana yang disabdakan Nabi: Setiap bid’ah itu adalah sesat.” Juga sesuatu yang tidak mungkin jikalau Umar r.a melakukan sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau adalah salah seorang hamba dikalangan sahabat yang mendapat jaminan masuk surga dan beliau juga dikatagorikan sebagai golongan generasi terbaik dan termasuk Khulafa Arasyidin yang lurus dan adil.
Disamping itu pula ada pendapat imam Syafii yang disalahkan artikan dari sebagian kaum muslimin yang kemudian dijadikan kontrovesi dan perselisihan, dan sebagian para ulama berlindung pada qaul Imam Syafi’ie ini. Yaitu tentang pembagian bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi‘ah (buruk). Imam Syafi’I berkata:
عَنْ حَرْمَلَة بْنِ يَحْيَ رَحِمَهُ اللهُ قَالَ : سَـمِعْتُ الشَّا فِعِيَّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى يَقُوْلُ : اَلْبِدْعَةُ بِدْ عَتَانِ بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مُحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السَّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُوْم
Dari Harmalah bin Yahya rahihullah berkata: “Aku mendengar as Syafi’ie rahimahullahu ta’ala berkata: Bid’ah ada dua, yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Apa yang bersesuaian dengan sunnah maka itu adalah terpuji dan apa yang bertentangan dengan sunnah berarti tercela.”
وَقَالَ الرَّبِيْعُ رَحِمَهُ اللهُ : قَالَ الشَّـافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى : اَلْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلاُمُوْرِ ضَرْبَانَ : اَحَدُهُمَا مَا اَحْدَثَ يُخَالِفُ كَتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْاِجْمَاعًا اَوْ اَثَرًا فَهَذِهِ الْبِدْعَةُ الضَّلاَلَةُ . وَالثَانِيْ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هَذَا فَهِيَ غَيْرُ مَذْمُوْمَة.
Berkata Ar-Rabbi rahimahullah: Telah berkata as-Syafi’ie rahimahullahu Ta’ala: perkara-perkara yang diadakan terbagi dua: yang pertama apa yang di buat bertentangan dengan al-Kitab (al Qur’an), Sunnah, Ijma atau atsar, maka inilah bid’ah yang sesat. Kedua apa yang di buat berupa kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari perkara (al Qur’ah, Sunnah, Ijma, dan atu atsar) maka itu perbuatan yang tidak tercela.
“Bid’ah itu terbagi kepada yang baik dan yang buruk, atau yang terpuji dan tercela. Dalam perkara ini, termasuklah setiap yang diada-adakan selepas zaman Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam dan para Khulafa Ar-Rasyidin”
Persoalan-persoalan qaul Imam Syafii ini telah dijelaskan oleh salafus shalih, diataranya Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nasir as-Shaibani rahimahullahu dalam kitabnya اللمع فى الرد على محسني البدع hal 36 - 37.
Beliau menjelaskan qaul Imam Syafii tersebut diantaranya:
a. Tidak diterima seharusnya perkataan sesorang manusia yang bertentangan dengan sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam walau siapapun orangnya. Sabda Nabi adalah hujjah bagi setiap orang dan bukan perkataan seseorang itu menjadi hujjah untuk menentang/meninggalkan sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam sedangkan nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda tentang bid’ah:
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
Artinya: “Setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu dari neraka.” Dalam hal ini juga Abdulah bin Abbas Radhiallahu ‘anhuma berkata:
Artinya: Tidak ada pendapat seseorang (yang) dapat diambil atau ditinggalkan kecuali sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam. Sebagai kesimpulan bahwa pendapat seseorang itu tidak bisa berketerusan diterima bila bertentangan dengan sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam.
c. Bagi siapa yang mau mencoba untuk memahami tentang qaul Imam Syafii maka dia tidak akan ragu-ragu lagi bahwa yang dimaksudkan dengan Imam Syafii bid’ah dari segi bahasa (لغوى) bukan syar’i (شرعي). Ini berdalilkan kenyataan dari Imam Syafii sendiri sesungguhnya setiap bid’ah dalam syara bertentangan dengan al Qur’an dan As-Sunnah. Imam Syafie sendiri mengaitkan bid’ah yang baik dengan apa yang tidak bertentangan dengan al Qur’an dan as-Sunnah karena setiap bid’ah bertentang dengan firman Allah dan hadist Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam. Seperti firman-Nya
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
Artinya: Hari ini Aku telah sempurnakan bagi kamu agamamu (Al Maidah: 3) dan juga sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang membuat hal baru dalam ajaran agama kami apa yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.” Lalu yang sebenarnya yang dimaksudkan oleh Imam Syafie sebagai bid’ah hasanah/mahmudah (baik/terpuji), yaitu pembukuan mushaf mushaf Al qur’an, kitab-kitab hadist dan shalat tarawih, ini amat tepat menurut definisi bahasa karena walaupun ia tidak ada contoh sebelumnya tetapi dia ada dasarnya dari syara yakni uncapan dari para sahabat Rasul sholallahu ‘alaihi wasallam. Dan juga pembinaan madrasah karena menuntut ilmu itu wajib menurut syara. Jadi semua yang berkaitan dengan dunia yang tidak memudharatkan adalah sesuatu yang baru lagi baik/terpuji karena tidak bertentangan dengan syara.
Penjelasan tersebut diatas menunjukan bahwa setiap bid’ah yang dikatakan terpuji sebenarnya bukanlah bid’ah, karena ia tidak melibatkan urusan agama hanya di sangka bid’ah lantaran kurang memahami istilah bid’ah menurut bahasa dan syara. Adapun bid’ah yang dianggap sesat setelah didapati secara qath’I ialah yang bertentangan dengan al Qur’an dan as sunnah dan juga tiada dalil syara yang menyertainya.
d. Sebenarnya bagi ulama yang mengetahui pendirian Iman Syafie rahimahullah yang tegas, beliau sangat teliti dalam mengikuti Sunnah Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam dan sangat membenci kepada muqallid (orang yang bertaqlid buta) dan orang yang menolak hadist Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam. Maka sepatutnyalah seseorang itu tidak berprasangka terhadapnya sehingga kita dapati pandangan beliau terhadap hadist sahih. Terutama hadist ” Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat”. Maka dari itu yang paling tepat dan benar ialah bahwa ucapan Imam syafie ini semestinya di letakkan di tempat yang sesuai dengan hadist tersebut bukan dijadikan alasan untuk menentang hadist tersebut, karena apa yang dimaksudkan Imam syafie ialah bid’ah dari segi bahasa (lughah) bukan dari segi syara’ atau dalam persoalan agama. Imam Syafie rahimahullah menegaskan:
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى : اِذَا وَجَدْتُمْ فِى كِتَابِيْ خِلاَفَ سُنَّةَ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُوْلُوْا بِهَا وَدَعُوْا مَا قُلْتُه.ُ
“Apabila kamu temui di dalam Kitabku apa yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka berkatalah (ambil/peganglah} kamu dengan sunnah tersebut dan hendaklah kamu tinggalkan apa yang telah aku katakan.”
Jika ditinjau dari segi bahasa bahwa sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi “Kullu” ini bermakna bahwa setiap atau semua. Kata Kullu ini juga dapat dipahami “semua atau setiap” seperti dalam Firman Allah surah Al Imran ayat 185, yang berbunyi ” Kullu nafsin zaa iqotul maut yang artinya Setiap atau Semua yang bernyawa pasti akan mati. Kullu disini mencakup segala-galanya, maka kata “Kullu”secara sah dan secara nyata bahwa tidak ada benda yang benyawa yang tidak akan mati.
Jadi sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam “Kullu Bid’atin dhalalah” sudah tentu mencakupi semua bid’ah pasti sesat tanpa harus adanya bid’ah yang baik dalam hal syara’. Dengan demikian jelaslah bahwa semua dalil yang ada bersifat umum dan mutlak meskipun banyak tetapi tidak ada pengecualian sedikitpun dan sudah menjadi ketetapan ilmu ushul bahwa setiap kaidah syar’i yang umum atau dalil syar’i yang umum bila berulang-ulang di banyak tempat dan mempunyai pendukung-pendukung, serta tidak ada pembatasan dan tidak ada pengkhususan, maka hal tersebut menunjukkan tetap dalam keumumannya
Oleh karena itu tidak layak bagi ulama zaman sekarang untuk berlindung dibalik ungkapan “Ini adalah bid’ah hasanah” bila di kaitkan dengan hal ibadah karena tidak ada jaminan dari Nabi bahwa ulama sekarang adalah sebaik-sebaiknya generasi yang disebutkan dalam sabda Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam yang telah dijelaskan sebelumnya. Jadi intinya perkataan seorang ulama boleh diterima atau di tolak terkecuali Sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wasallam yang mengharuskan kita terima. Yang terpenting adalah bagaimana beramal yang ikhlas dan sesuai dengan apa yang telah disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya.

Tidak ada komentar: